Salah satu moment
yang ramai dikunjungi dan dinanti oleh para Sarjana usai upacara wisuda adalah Job Fair. Biasanya pihak kampus sendiri
membantu mengakomodasi acara ini bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang juga
sedang mencari karyawan. Kebanyakan stand
atau booth
yang selalu hadir meramaikan acara Job Fair adalah Bank-bank ternama di
Indonesia. Entahlah, banyak orang memiliki mindset
bahwa menjadi bankers adalah
pekerjaan paling bergengsi di jagad raya ini. Orangtua Saya pun juga
berpendapat sama, namun tidak demikian dengan Saya. Menurut Saya pekerjaan
apapun sama saja, asalkan dikerjakan dengan jujur, ikhlas dan tidak merugikan orang
lain. Pekerjaan kita hanyalah alat, atau kendaraan dalam menggapai impian kita.
Yang terpenting dalam bekerja adalah memiliki passion, seperti yang ada di dalam buku Your Job Is Not Your Career! yang ditulis oleh Rene Suhardono.
Saya teringat curhatan murid Saya kemarin malam, tentang dua
orang penjual mie di kantin sekolahnya. Dia bilang ada dua tukang mie, sebut saja
Tante A dan Tante B. Si A selalu memasak dengan penuh cinta, dan si B memasak
demi mendapatkan uang. Murid Saya bilang setiap kali dia membeli mie si Tante B
selalu bilang “Mana uangnya? Mana uangnya, Neng?” tetapi hasil mie instant yang dimasaknya itu nggak enak, masih mentah dan keras, dan
kadang-kadang dia suka lupa memasukan bumbu ke dalam mangkok mie pembelinya. Pelanggan
yang complain malah dimarahi oleh si Tante B. Sedangkan si Tante A tetap ramah,
meskipun pembelinya sangat ramai, kualitas mie
instant yang disajikannya juga selalu yang terbaik dan terenak. “Dari hasilnya aja Aku tuh bisa ngerasain
mana mie yang dibuat pake perasaan dan mana yang dibuat asal-asalan!” gerutu murid Saya. Hahaha...Saya hanya tersenyum
mendengarkan cerita polosnya.
Bahkan penjual mie pun memiliki passion dalam bekerja. Tapi
tidak bisa dipungkiri bahwa faktor finansial (uang) memang sangat mempengaruhi
semangat kerja. Seperti kejadian minggu lalu, Boss Saya telat 3 hari mentransfer gaji karyawannya karena beliau sedang berhalangan. Langsung deh seisi kantor dilanda galau dan setiap bertemu Saya mereka bertanya "Mbak, udah gajian blom sih? kok tenang-tenang aja?". "Ga tau deh, Saya jarang ngecek saldo kalo akhir bulan. Kalo kamu belom gajian ya Saya juga pasti belom lah. Lagian baru tanggal segini, blom tanggal 1 kan? ngapain dipikirin, mending Saya mikirin yang mau ujian besok" jawab Saya Santai. Tetapi tidak semua pekerja sih bekerja hanya demi uang. Masih ada beberapa
orang yang memang they not work for the
money, they just do that because they love to do it! Kalau Saya pribadi sih netral,
yang penting perusahaan cukup fair (adil) dalam membayar hasil perasan keringat karyawannya. Sebut saja teman
Saya si L bekerja sebagai marketing di Bank M. Memang penampilan dan gaya hidupnya
sekarang high class banget,
dibandingkan Saya yang hanya bekerja di sebuah Bimbingan Belajar yang baru berkembang. Saya
sih kurang tahu berapa tepatnya gaji dan bonus yang dia dapatkan untuk setiap 100 juta
rupiah yang berhasil dia menangkan untuk perusahaannya. Tapi kalau Saya hitung
hasil jerih payah Saya pribadi, untuk setiap 200 ribu rupiah yang dibayarkan
oleh pelanggan Saya, setengahnya masuk ke rekening Saya dan setengahnya lagi
masuk ke kas kantor yang dipakai untuk bayar listrik, bayar sewa ruko, bayar
pajak, sewa rumah (asrama kantor), persediaan makan, kebutuhan rumah tangga, beli
bensin, bayar transport, bayar gaji OB dan asisten rumah tangga. Yaa...jadi share-nya 50 : 50 Hmmm... Saya rasa itu cukup adil buat
Saya. So, how’s your job? fair enough or
unfair? :)